Minggu, 14 Juni 2009

PERANCANGA KOTA -IDENTIFIKASI JALAN KIARA CONDONG-

BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Kota adalah suatu ungkapan kehidupan manusia yang mungkin paling kompleks. kebanyakan ilmuwan berpendapat bahwa, dari segi budaya dan antropologi, ungkapan kota sebagai ekspresi kehidupan orang sebagai pelaku dan pembuatnya adalah paling penting dansangat perlu di perhatikan. hal tersebut di sebabkan karena permukiman perkotaan tidak memiliki makna yang berasal dari dirinya sendiri, melinkan dari kehidupan di dalamnya.
Rancang kota merupakan suatu kawasan perancangan yang menyangkut segi tampilan lingkungan dan struktur fisik. dalam tatanan bentuk, makna dan lingkungan kota dan dalam kesatuan terpadu antara lingkungan fisik, kehidupan dan manusianya.
Perancangan kota adalah suatu upaya untuk menata suatu tatanan fisik permukiman kota secara berkesinambungan dan mendalam untuk memenuhi kebutuhan social, ekonomi dan politik masyarakatnya dalam berbagai kendala dan keterbatasan lingkungan alam maupun binaannya.
Sebagai bagian dari keplanologian, perancangan kota merupakan salah satu unsure penting dalam bidang keilmuwannya. untuk membangun sebuah kota, perancangan kota mutlak di perlukan sebagai dasar bagi pembangunan dasar sebuah kota.
Di dalam pembangunannya, sebuah kota pasti akan menghadapi berbagai masalah yang akan di hadapi maka dari itu perancangan kota di perlukan sebagai pengantisipasi untuk menghindari masalah yang akan terjadi di sebuah kota.
Terdapat beberapa permasalahan yang terjadi di Jalan KiaraCondong ini, diantaranya yaitu pendestrian digunakan oleh Para Pedagang Kaki Lima (PKL) atau digunakan tempat parkir oleh kendaraan, karena tempat parker yang tersedia sangat kurang. Pendestrian yang kurang efektif sehingga para pejalan kaki kurang nyaman bila berjalan kaki. Belum lagi angfutan kota yang sering berhenti di pinngir jalan yang mengurangi keindahan di Jalan Kiaracondong ini. Di Jalan Kiaracondong ini nampak kumuh, karena drainasenya sangat kotor dan banyak sampah, serta banyaknya air yang tergenang bila sesudah hujan.



1.2 Tujuan dan sasaran
1.2.1 Tujuan
Tujuan dari penyusunan laporan ini adalah untuk menganalisis dan mengevaluasi elemen-elemen rancang kota di Kota Bandung khususnya di sepanjang Jalan Kiaracondong, sehingga dapat menghasilkan suatu informasi atau memberikan gambaran umum mengenai kondisi rancang kota di sepanjang Jalan Kiaracondong Kota Bandung.

1.2.2 Sasaran
Guna mempermudah tercapainya tujuan tersebut diatas maka disusunlah beberapa sasaran yaitu sebagai berikut:
1. Mengidentifikasi elemen rancang kota yang terdapat di sepanjang Jalan Kiaracondong Kota Bandung.
2. Mengidentifikasi Unsur-unsur Lingkungan Kota yang terdapat di sepanjang Jalan Kiaracondong Kota Bandung.




1.3 Ruang Lingkup
1.3.1 Ruang Lingkup Wilayah
Ruang lingkup wilayah yang di sajikan adalah di Kota Bandung khususnya di sepanjang Jalan Kiaracondong.
Adapun batas-batas administrasi jalan Kiaracondong adalah sebagai berikut :
Sebelah Utara berbatasan dengan Jalan Jenderal Ahmad Yani (Cicadas)
Sebelah Selatan berbatasan dengan jalan Soekarno Hatta (By Pass) dan Jl. Terusan Kiaracondong
Sebelah Barat berbatasan dengan Jalan Jakarta dan Jalan Gatot Subroto
Sebelah Timur berbatasan dengan Jalan Terusan Jalan Jakarta




1.3.2 Ruang Lingkup Materi
Ruang lingkup materi yang di sajikan adalah elemen-elemen rancang kota yaitu :

• Tata guna lahan,
• Tata masa dan bentuk bangunan,
• Sirkulasi dan parkir,
• Ruang terbuka,
• Jalur pedestrian,
• Pendukung aktifitas,
• Tanda-tanda
• Preservasi dan konservasi.


Serta 5 Unsur pembentuk citra lingkungan yaitu :
• Landmarks
• Edges
• Paths
• Nodes
• Districs




1.4 Metode Pengumpulan Data
Metode pengumpulan data yang di gunakan adalah sebagai berikut :
1. Survey Primer
Survey Primer merupakan survey yang memberikan data secara langsung dari lapangan sehingga lebih mendetail dan dapat melengkapi data yang belum ada dalam survey sekunder yaitu dengan cara wawancara langsung atau dengan cara membuat quisioner mengenai hal ynag ingin kita ketahui.
2. Survey Sekunder
Survey Sekunder merupakan survey yang diperoleh dari studi literature (pengumpulan bahan-bahan bacaan berupa buku-buku dan literature yang berhubungan dengan bidang studi dan internet) yang akan dijadikan suatu penunjang mengenai kondisi Jalan Kiaracondong.

1.5 Sistematika Penyusunan
Sistematika penyusunan yang di gunakan dalam penyusunan laporan ini adalah sebagai berikut :
Bab I Pendahuluan
Terdiri dari Latar belakang, tujuan dan sasaran, ruang lingkup meliputi materi dan wilayah, metode pengumpulan data, dan sistematika penyusunan laporan
Bab II Tinjauan Teoritis
Tinjauan teoritis ini membahas mengenai elemen rancang kota dan unsur pembentuk citra lingkungan kota.
Bab III Gambaran Umum dan Identifikasi Elemen Perancangan Pada Ruas Jalan Kiaracondong
Membahas mengenai gambaran umum Kota Bandung dan Jalan Kiaracondong, karakteristik Jalan Kiaracondong dan kondisi eksisting elemen-elemen perancangan kota di sepanjang Jalan Kiaracondong.
Bab IV Evaluasi Elemen Perancangan pada Ruas Jalan Kiaracondong
Membahas perbandingan antar teori elemen perancangan kota dan kondisi eksisting elemen perancangan pada ruas jalan Kiaracondong.
Bab V Kesimpulan
Berisikan kesimpulan dan saran dari penyusunan laporan


BAB II
TINJAUAN TEORITIS
2.1 Elemen Rancang Kota
Dalam desain perkotaan (Shirvani, 1985) terdapat elemen-elemen fisik Urban Design yang bersifat ekspresif dan suportif yang mendukung terbentuknya struktur visual kota serta terciptanya citra lingkungan yang dapat pula ditemukan pada lingkungan di lokasi penelitian, elemen-elemen tersebut adalah :
a. Tata Guna Lahan ( Land Use)
Pada prinsipnya land use adalah pengaturan penggunaan lahan untuk menentukan pilihan yang terbaik dalam mengalokasikan fungsi tertentu, sehingga secara umum dapat memberikan gambaran keseluruhan bagaimana 23 daerah pada suatu kawasan tersebut seharusnya berfungsi. Land use bermanfaat untuk pengembangan sekaligus pengendalian investasi pembangunan. Pada skala makro, land use lebih bersifat multifungsi / mixed use.
Tata guna lahan dua dimensi menentukan ruang tiga dimensi yang terbentuk, tata guna lahan perlu mempertimbangkan dua hal yaitu pertimbangan umum dan pertimbangan pejalan kaki (street level) yang akan menciptakan ruang yang manusiawi.
Peruntukan lahan suatu tempat secara langsung disesuaikan dengan masalah-masalah yang terkait, bagaimana seharusnya daerah zona dikembangkan, Shirvany mengatakan bahwa zoning ordinace merupakan suatu mekanisme pengendalian yang praktis dan bermanfaat dalam urban design, penekanan utama terletak pada masalah tiga dimensi yaitu hubungan keserasin antar bangunan dan kualitas lingkungan.
Jika kita melihat dilokasi penelitian bisa dilihat dari zona mitigasi tiap-tiap wilayah kaitanya dalam menyiapkan daerah yang masuk dalam wilayah bencana alam siap menghadapinya dan juga membentuk kualitas hidup lingkungan dan bersifat kawasan yang manusiawi.
b. Bentuk Dan Massa Bangunan (Building Form and Massing)
Bentuk dan massa bangunan tidak semata - mata ditentukan oleh ketinggian atau besarnya bangunan, penampilan bentuk maupun konfigurasi dari massa bangunannya, akan tetapi ditentukan juga oleh besaran selubung bangunan (building envelope), BCR (KDB) dan FAR (KLB), ketinggian bangunan, sempadan bangunan, ragam arsitektur, skala, material, warna dan sebagainya.
Menyangkut aspek-aspek bentuk fisik karena setting, spesifik yang meliputi ketinggian, besaran, floor area ratio, koefisien dasar bangunan, pemunduran (setback) dari garis jalan, style bangunan, skala proporsi, bahan, tekstur dan warna agar menghasilkan bangunan yang berhubungan secara harmonis dengan bangunan-bangunan lain disekitarnya. Prinsip-prinsip dan teknik Urban Design yang berkaitan dengan bentuk dan massa bangunan meliputi :
• Scale : berkaitan dengan sudut pandang manusia, sirkulasi dan dimensi bangunan sekitar.
• Urban Space : sirkulasi ruang yang disebabkan bentuk kota, batas dan tipe-tipe ruang.
Urban Mass : meliputi bangunan, permukaan tanah dan obyek dalam ruang yang dapat tersusun untuk membentuk urban space dan pola aktifitas dalam skala besar dan kecil.

c. Sirkulasi Dan Parkir (Circulation and Parking )
Masalah sirkulasi kota merupakan persoalan yang membutuhkan pemikiran mendasar, antara prasarana jalan yang tersedia, bentuk struktur kota, fasilitas pelayanan umum dan jumlah kendaraan bermotor yang semakin meningkat. Diperlukan suatu manajemen transportasi yang menyeluruh terkait dengan aspek-aspek tersebut.
Di sebagian besar negara maju sudah dicanangkan atau digencarkan penggunaan moda transportasi umum (mass transport) dan mengurangi penggunaan kendaraan pribadi. Selain penghematan BBM, langkah ini akan membantu pengurangan pencemaran udara kota berupa partikel beracun (CO2 misalnya) maupun kebisingan dan bahaya lalu lintas lainnya. Kebijakan ini mengarah terciptanya suatu lingkungan kota menuju kondisi minimalisir transportasi (zero transportation).
Selain kebutuhan ruang untuk bergerak, moda transport juga membutuhkan tempat untuk berhenti (parkir). Kebutuhan parkir semakin meingkat terutama di pusat-pusat kegiatan kota atau Central Bussiness District (CBD).
Elemen sirkulasi adalah satu aspek yang kuat dalam membentuk struktur lingkungan perkotaan, tiga prinsip utama pengaturan teknik sirkulasi adalah :
• Jalan harus menjadi elemen ruang terbuka yang memiliki dampak visual yang positif.
• Jalan harus dapat memberikan orientasi kepada pengemudi dan membuat lingkungan menjadi jelas terbaca.
• Sektor publik harus terpadu dan saling bekerjasama untuk mencapai tujuan bersama.




d. Ruang Terbuka (Open Space)
Berbicara tentang ruang terbuka (open space) selalu menyangkut lansekap. Elemen lansekap terdiri dari elemen keras (hardscape seperti : jalan, trotoar, patun, bebatuan dan sebagainya) serta elemen lunak (softscape) berupa tanaman dan air. Ruang terbuka bias berupa lapangan, jalan, sempadan sungai, green belt, taman dan sebagainya.
Dalam perencanan open space akan senantiasa terkait dengan perabot taman / jalan (street furniture). Street furniture ini bisa berupa lampu, tempat sampah, papan nama, bangku taman dan sebagainya.
Ian C. Laurit mengelompokkan ruang terbuka sebagai berikut :
Ruang terbuka sebagai sumber produksi.
Ruang terbuka sebagai perlindungan terhadap kekayaan alam dan manusia (cagar alam, daerah budaya dan sejarah).
Ruang terbuka untuk kesehatan, kesejahteraan dan kenyamanan.
Ruang terbuka memiliki fungsi :
Menyediakan cahaya dan sirkulasi udara dalam bangunan terutama di pusat kota.
Menghadirkan kesan perspektif dan visa pada pemandangan kota (urban scane) terutama dikawasan pusat kota yang padat.
Menyediakan arena rekreasi dengan bentuk aktifitas khusus.
Melindungi fungsi ekologi kawasan.
Memberikan bentuk solid foid pada kawasan.
Sebagai area cadangan untuk penggunaan dimasa depan (cadangan area pengembangan).
Aspek pengendalian ruang terbuka pusat kota sebagai aspek fisik, visual ruang, lingkage dan kepemilikan dipengaruhi beberapa faktor :
1. Elemen pembentuk ruang, bagaimana ruang terbuka kota yang akan dikenakan (konteks tempat) tersebut didefinisikan (shape, jalan, plaza, pedestrian ways, elemen vertikal).
2. Faktor tempat, bagaimana keterkaitan dengan sistem lingkage yang ada.
3. Aktifitas utama.
4. Faktor comfortabilitas, bagaimana keterkaitan dengan kuantitas (besaran ruang, jarak pencapaian) dan kualitas (estetika visual) ruang.
5. Faktor keterkaitan antara private domain dan public domain.



e. Jalur Pejalan Kaki (Pedestrian Area)
Sistem pedestrian yang baik akan mengurangi keterikatan terhadap kendaraan di kawasan pusat kota, mempertinggi kualitas lingkungan melalui sistem perancangan yang manusiawi, menciptakan kegiatan pedagang kaki lima yang lebih banyak dan akhirnya akan membantu kualitas udara di kawasan tersebut.

Sistem pejalan kaki yang baik adalah :
• Mengurangi ketergantungan dari kendaraan bermotor dalam areal kota.
• Meningkatkan kualitas lingkungan dengan memprioritaskan skala manusia.
• Lebih mengekspresikan aktifitas PKL mampu menyajikan kualitas udara.

f. Pendukung Kegiatan (Activity Support )
Pendukung kegiatan adalah semua fungsi bangunan dan kegiatan-kegiatan yang mendukung ruang publik suatu kawasan kota. Bentuk, lokasi dan karakter suatu kawasan yang memiliki ciri khusus akan berpengaruh terhadap fungsi, penggunaan lahan dan kegiatan-kegiatannya. Penciptaan kegiatan pendukung aktifitas tidak hanya menyediakan jalan, pedestrian atau plaza, tetapi juga harus mempertimbangkan fungsi utama dan penggunaan elemen-elemen kota yang dapat menggerakkan aktivitas, misalnya : pusat perbelanjaan, taman rekreasi, pusat perkantoran, perpustakaan dan sebagainya.
Muncul oleh adanya keterkaitan antara fasilitas ruang-ruang umum kota dengan seluruh kegiatan yang menyangkut penggunaan ruang kota yang menunjang akan keberadaan ruang-ruang umum kota. Kegiatan-kegiatan dan ruang-ruang umum bersifat saling mengisi dan melengkapi. Pada dasarnya activity support adalah :
 Aktifitas yang mengarahkan pada kepentingan pergerakan (importment of movement).
 Kehidupan kota dan kegembiraan (excitentent).
Keberadaan aktifitas pendukung tidak lepas dari tumbuhnya fungsi-fungsi kegiatan publik yang mendominasi penggunaan ruang-ruang umum kota, semakin dekat dengan pusat kota makin tinggi intensitas dan keberagamannya.
Bentuk actifity support adalah kegiatan penunjang yang menghubungkan dua atau lebih pusat kegiatan umum yang ada di kota, mislnya open space (taman kota, taman rekreasi, plaza, taman budaya, kawasan PKL, pedestrian ways dan sebagainya) dan juga bangunan yang diperuntukkan bagi kepentingan umum.

g. Tanda-tanda (Signage)
Tanda-tanda petunjuk jalan, arah kesuatu kawasan tertentu pada jalan tol atau di jalan kawasan pusat kota semakin membuat semarak atmosfir lingkungan kota tersebut. Peraturan yang mengatur tentang tanda-tanda tersebut pada sebagian besar kota di Indonesia belum mengatur pada masalah teknis. Akibatnya perkembangan papan-papan reklame mengalami persaingan yang berlebihan, baik dalam penempatan titik-titiknya, dimensi atau ukuran billboardnya, kecocokan bentuk, dan pengaruh visual terhadap lingkungan kota.

h. Konservasi ( Conservation )
Konservasi suatu individual bangunan harus selalu dikaitkan dengan keseluruhan kota. Konsep tentang konservasi kota memperhatikan beberapa aspek,antara lain: bangunan-bangunan tunggal, struktur dan gaya arsitektur, hal yang berkaitan dengan kegunaan, umur bangunan atau kelayakan bangunan.
Beberapa kategori konservasi antara lain preservasi (preservation), konservasi (conservation), rehabilitasi (rehabilitation), revitalisasi (revitalitation) dan peningkatan (improvement).
Dalam urban design, preservasi harus diarahkan pada perlindungan permukiman yang ada dan urban place, sama seperti tempat atau bangunan sejarah, hal ini berarti pula mempertahankan kegiatan yang berlangsung di tempat itu.
Dalam ¡¨lingkage theory¡¨ sirkulasi merupakan penekanan pada hubungan pergerakan yang meruakan kontribusi yang sangat penting. Menurut Fumihiko Maki, Linkage secara sederhana adalah perekat, yaitu suatu kegiatan yang menyatukan seluruh lapisan aktivitas dan menghasilkan bentuk fisik kota, dalam teorinya dibedakan menjadi tiga tipe ruang kota formal, yaitu : Composition form, Megaform dan groupform. Teori linkage yang dapat diterapkan dalam kajian ini adalah group form yang merupakan ciri khas dari bentuk-bentuk spasial kota yang mempunyai kajian sejarah. Linkage ini tidak terbentuk secara langsung tetapi selalu dihubungkan dengan karakteristik fisik skala manusia, rentetan-rentetan space yang dipertegas oleh bangunan, dinding, pentu gerbang, dan juga jalan yang membentuk fasade suatu lingungan perkampungan. Linkage theory ini dapat digunakan sebagai alat untuk memberikan arahan dalam penataan suatu kawasan (lingkungan). Dalam konteks urban design, linkage menunjukkan hubungan pergerakan yang terjadi pada beberapa bagian zone makro dan mikro, dengan atau tanpa aspek keragaman fungsi yang berkaitan dengan fisik, historis, ekonomi, sosial, budaya dan politik (danarti Karsono, 1996).
Menurut Shirvani (1985), linkage menggambarkan keterkaitan elemen bentuk dan tatanan masa bangunan, dimana pengertian bentuk dan tatanan massa bangunan tersebut akan meningkatkan fungsi kehidupan dan makna dari tempat tersebut. Karena konfigurasi dan penampilan massa bangunan dapat membentuk, mengarahkan, menjadi orientasi yang mendukung elemen linkage tersebut.
Bila pada figure ground theory dan linkage theory ditekankan pada konfigurasi massa fisik , dalam place theory ditekankan bahwa integrasi kota tidak hanya terletak pada konfigurasi fisik morfologi, tetapi integrasi antara aspek fisik morfologi ruang dengan masyarakat atau manusia yang merupakan tujuan utama dari teori ini, melalui pandangan bahwa urban design pada dasarnya bertujuan untuk memberikan wadah kehidupan yang baik untuk penggunaan ruang kota baik publik maupun privat.
Pentingnya place theory dalam spasial design yaitu pemahaman tentang culture dan karakteristik suatu daerah yang ada menjadi ciri khas untuk digunakan sebagai salah satu pertimbangan agar penghuni (masyarakat) tidak merasa asing di dalam lingkungannya. Sebagaimana tempat mempunyai masa lalu (linkage history), tempat juga terus berkembang pada masa berikutnya. Artinya, nilai sejarah sangat penting dalam suatu kawasan kota. Aspek spesifik lingkungan menjadi indikator yang sangat penting dalam menggali potensi, mengatur tingkat perubahan serta kemungkinan pengembangan di masa datang, teori ini memberikan pengertian bahwa semakin penting nilai-nilai sosial dan budaya, dengan kaitan sejarah di dalam suatu ruang kota.

2.2 Unsur Pembentuk Citra Lingkungan Kota
Lynch (1987) menyatakan bahwa image kota dibentuk oleh 5 elemen pembentuk wajah kota, yaitu:
1) Paths (area pejalan kaki atau pedestrian way)
Adalah suatu garis penghubung yang memungkinkan orang bergerak dengan mudah. Paths berupa jalur, jalur pejalan kaki, kanal, rel kereta api dan yang lainnya.
2) Edges (batas)
Adalah elemen yang berupa jalur memanjang tetapi tidak berupa paths yang merupakan batas antara 2 jenis fase kegiatan. Edges bias berupa dinding, pantai, green belt dan lain-lain.
3) Districts (wilayah, kawasan)
Districts hanya bisa dirasakan ketika orang memasukinya, atau bisa dirasakan dari luar apabila memiliki kesan visual. Artinya districts bisa dikenali karena adanya suatu karakteristik kegiatan dalam suatu wilayah.
4) Nodes (simpul)
Adalah berupa titik di mana orang memiliki pilihan untuk memasuki districts yang berbeda. Sebuah titik konsentrasi di mana transportasi memecah, paths menyebar dan tempat mengumpulnya karakter fisik.
5) Landmark (tetenger, tugu)
Adalah titik pedoman obyek fisik. Berupa fisik natural seperti gunung atau bukit dan berpa fisik buatan seperti menara, gedung, sculpture, kubah dan lain-lain. Dengan adanya landmark orang bisa dengan mudah mengorientasikan diri di dalam suatu kota atau kawasan.









BAB III
GAMBARAN UMUM DAN IDENTIFIKASI ELEMEN PERANCANGAN
PADA RUAS JALAN KIARACONDONG

3.1 Gambaran Umum Kota Bandung dan Ruas Jalan Kiaracondong
Kota Bandung tidak berdiri bersamaan dengan pembentukan Kabupaten Bandung. Kota itu dibangun dengan tenggang waktu sangat jauh setelah Kabupaten Bandung berdiri. Kabupaten Bandung dibentuk pada sekitar pertengahan abad ke-17 Masehi, dengan Bupati pertama tumenggung Wiraangunangun. Beliau memerintah Kabupaten bandung hingga tahun 1681.
Semula Kabupaten Bandung beribukota di Krapyak (sekarang Dayeuhkolot) kira-kira 11 kilometer ke arah Selatan dari pusat kota Bandung sekarang. Ketika kabupaten Bandung dipimpin oleh bupati ke-6, yakni R.A Wiranatakusumah II (1794-1829) yang dijuluki "Dalem Kaum I", kekuasaan di Nusantara beralih dari Kompeni ke Pemerintahan Hindia Belanda, dengan gubernur jenderal pertama Herman Willem Daendels (1808-1811). Untuk kelancaran menjalankan tugasnya di Pulau Jawa, Daendels membangun Jalan Raya Pos (Groote Postweg) dari Anyer di ujung barat Jawa Barat ke Panarukan di ujung timur Jawa timur (kira-kira 1000 km). Pembangunan jalan raya itu dilakukan oleh rakyat pribumi di bawah pimpinan bupati daerah masing-masing.
Di daerah Bandung khususnya dan daerah Priangan umumnya, Jalan Raya pos mulai dibangun pertengahan tahun 1808, dengan memperbaiki dan memperlebar jalan yang telah ada. Di daerah Bandung sekarang, jalan raya itu adalah Jalan Jenderal Sudirman - Jalan Asia Afrika - Jalan A. Yani, berlanjut ke Sumedang dan seterusnya. Untuk kelancaran pembangunan jalan raya, dan agar pejabat pemerintah kolonial mudah mendatangi kantor bupati, Daendels melalui surat tanggal 25 Mei 1810 meminta Bupati Bandung dan Bupati Parakanmuncang untuk memindahkan ibukota kabupaten, masing-masing ke daerah Cikapundung dan Andawadak (Tanjungsari), mendekati Jalan Raya Pos.
Rupanya Daendels tidak mengetahui, bahwa jauh sebelum surat itu keluar, bupati Bandung sudah merencanakan untuk memindahkan ibukota Kabupaten Bandung, bahkan telah menemukan tempat yang cukup baik dan strategis bagi pusat pemerintahan. Tempat yang dipilih adalah lahan kosong berupa hutan, terletak di tepi barat Sungai Cikapundung, tepi selatan Jalan Raya Pos yang sedang dibangun (pusat kota Bandung sekarang). Alasan pemindahan ibukota itu antara lain, Krapyak tidak strategis sebagai ibukota pemerintahan, karena terletak di sisi selatan daerah Bandung dan sering dilanda banjir bila musim hujan.
Sekitar akhir tahun 1808/awal tahun 1809, bupati beserta sejumlah rakyatnya pindah dari Krapyak mendekali lahan bakal ibukota baru. Mula-mula bupati tinggal di Cikalintu (daerah Cipaganti), kemudian pindah ke Balubur Hilir, selanjutnya pindah lagi ke Kampur Bogor (Kebon Kawung, pada lahan Gedung Pakuan sekarang).
Tidak diketahui secara pasti, berapa lama Kota Bandung dibangun. Akan tetapi, kota itu dibangun bukan atas prakarsa Daendels, melainkan atas prakarsa Bupati Bandung, bahkan pembangunan kota itu langsung dipimpin oleh bupati. Dengan kata lain, Bupati R. A. Wiranatakusumah II adalah pendiri (the founding father) kota Bandung. Kota Bandung diresmikan sebagai ibukota baru Kabupaten Bandung dengan surat keputusan tanggal 25 September 1810.
Luas Kota Bandung pada 1 April 1906 adalah 900 ha., menjadi 2.150 ha pada 12 Oktober 1917, 3.305 ha pada tahun 1945, 8.098 ha pada tahun 1949, dan akhirnya menjadi sekitar 16.730 ha pada 22 Januari 1987. Perencanaan tata kota dan perluasan wilayah kota ditetapkan untuk pertama kali pada tahun 1930 oleh E.H. Karsten, yang memproyeksikan masa 25 tahun ke depan jumlah penduduk sebesar 750.000 orang (Plan Karsten ). Rencana Induk Kota Kotamadya Daerah Tingkat II Bandung Tahun 1985 memproyeksikan jumlah penduduk sebanyak 1.665.000 orang dengan luas wilayah 8.096 ha pada tahun 2005. Revisi Rencana Induk tahun 1985 – 2005 yang dibuat pada tahun 1992, memproyeksikan jumlah penduduk sebanyak 2.509.448 orang pada tahun 2005 dengan luas wilayah sekitar 16.730 ha. Proyeksi jumlah penduduk tahun 2005 didasarkan pada jumlah penduduk tahun 1991 sebanyak 2.096.463 orang dan laju pertambahan penduduk rata-rata di Kota Bandung. Dari hanya sebuah desa kecil yang didirikan pada tahun 1810 “desa” Bandung telah berkembang menjadi sebuah kota yang luas. Wilayahnya bertambah luas dan penduduknya bertambah padat dari tahun ke tahun.
Daya tarik Kota Bandung yang menjanjikan kemudahan dalam segi materi dan predikat kota Pendidikan, telah menyebabkan terjadinya arus urbanisasi dari daerah di sekitar Kota Bandung, bahkan dari luar Provinsi Jawa Barat. Kota Bandung menjadi penuh sesak karena jumlah penduduknya melampaui besar angka yang diproyeksikan.
Setiap kota memiliki identitas kota (landmark) sendiri yang berbeda satu dengan lainnya, baik yang berskala regional, nasional, maupun internasional. Kota Bandung mempunyai minimal dua identitas kota yang bertaraf internasional, yaitu Gedung Sate dan Kawasan Braga.
Dr.H.P. Berlage (1923), seorang arsitek kenamaan Belanda, menilai Gedung Sate merupakan een groots werk (sebuah9karya9besar). Kawasan Braga sudah dikenal para wisatawan asing sejak masa Hindia Belanda dan merupakan salah satu unsur yang menjadikan Kota Bandung menerima julukan Parijs van Java. Kawasan Braga sempat dijuluki De meest Eropeesche winkelstraat van Indie (Kompleks pertokoan Eropa paling terkemuka di Hindia Belanda). Gedung Sate dibangun pada tahun 1920 – 1924 di Wihelmina Boulevard (sekarang Jalan Diponegoro); peletakan batu pertama oleh Nona Johana Caaatherine Coops, putrid sulung Walikota Bandung B. Coops. dan Nona Petronella Roelofsen yang mewakili Gubernur Jenderal Hindia Belanda di Batavia. Gedung Sate merupakan karya monumental dari arsitek Ir. Gerber. Gaya arsitekturnya merupakan perpaduan langgam arsitektur tradisional Indonesia dan teknik konstruksi Barat, sehingga disebut Indo Eropeesche ArchitectuurStijln. Arsitektur Gedung Sate merupakan perpaduan antara gaya arsitektur Italia dan Moor dari zaman Renaissance dengan gaya arsitektur Hindu dan Islam. Ornamen berciri tradisional seperti pada candi Hindu terdapat dibagian bawah dinding gedung, sedangkan pada bagian tengahnya ditempatkan menara beratap tumpak seperti meru di Bali, sesuatu yang lazim pada gaya arsitektur Islam.
Ornamen enam tiang dengan bulatan berbetuk mirip tusuk sate ditempatkan pada puncak atap tumpak, sebagai lambing biaya pembangunan Gedung Sate sebesar 6.000.000 Gulden. Tempo Doeloe gedung ini disebut Gouvernements Bedrijven (GB). Gedung ini kemudian disebut Gedung Sate berdasarkan bentuk ornament pada puncak atap tumpak tersebut. Gedung Sate sekarang menjadi Kantro Gubernur Jawa Barat.
Pemberian teritis (overstek) yang lebar dan selasar pada lantai dasar sangat disesuaikan dengan iklim tropis, agar sirkulasi udara dan sinar matahari dapat masuk ke dalam bangunan dengan baik.
Atap meru (atap tumpak) pada bangunan utama merupakan vocal point bangunan ini. Rancangan atap itu merupakan upaya memasukan unsure local pada desain bangunan. Wajah bangunan lebih didominasi dengan rincian (detail) arsitektur Barat seperti lengkung pada jendela dan tiang kecil yang memakai order klasik.
Alun-alun, Merdika Lio, Balubur, Coblong, Dago, Bumiwangi, dan Maribaya sekarang, pada awal tahun 1800 terhubungkan dengan jalan-jalan setapak ke jalan Braga sekarang jalur lalu-lalang itu berhubungan dengan jalan tradisonal pada masa Kerajaan Pajajaran, yang melintasi Sumedanglarang dan Wanayasa. Angkutan penumpang dan hasil bumi, khususnya kopi dari Gudang Kopi (Balaikota sekarang), banyak memanfaatkan jalur tersebut.
Alat angkut umum yang dipergunakan pada saat itu adalah pedati, sehingga jalan itu disebut Karrenweg lebih dikenal kemudian dengan nama Pedatiweg (sekarang Jalan Braga).
Beberapa warung berdinding bamboo dengan atap rumbia dan rumah-rumah yang agak besar telah ada di sepanjang Pedatiweg tahun 1874. Kemudian, menyusul sebuah toko kecil, yang diikuti enam toko lainnya pada tahun 1894.
Asal-usul nama Braga sendiri masih tidak jelas hingga sekarang. Perubahan nama pedatiweg menjadi Bragaweg mungkin akibat ketenaran Toneelvereniging Braga, yang didirikan di Pedatiweg pada tanggal 18 Juni 1882 oleh Asisten Residen Priangan, Pieter Sijthoff. Kemungkinan lain, nama Braga berasal dari kata Bahasa Sunda ‘ngabaraga’ yang menurut seorang sastrawan Sunda, M.A. Salmun, berarti “berjalan di sepanjang sungai”. Letak Pedatiweg memang berdampingan dengan sungai Cikapundung.
3.1.1 Gambaran Umum Ruas Jalan Kiaracondong
Jalan Kiaracondong merupakan salah satu jenis jalan arteri sekunder dengan panjang 4,12 Km dan termasuk status jalan propinsi Jawa Barat. Jalan Kiaracondong terletak di sebelah timur kota Bandung yang berbatasan dengan Jalan Soekarno Hatta. Jalan Kiaracondong terdiri dari dua lajur, dimana kedua lajur tersebut dipisahkan oleh pembatas jalan berupa pedestrian. Jalan Kiaracondong ini pada umumnya didominasi oleh kegiatan perdagangan dan jasa. Di jalan Kiaracondong ini terdapat jalan layang (fly over) yang panjangnya kira-kira 1 Km, dimana di bawah jalan layang tersebut terdapat beberapa kegiatan perdagangan dan jasa, serta terdapat juga stasiun kereta api Kiaracondong.

3.2 Karakteristik Ruas Jalan Kiaracondong
Penggunaan lahan di jalan Kiaracondong didominasi oleh penggunaan lahan terbangun, diantaranya yaitu: perdagangan, jasa, dan industri. Kegiatan perdagangan yang terdapat di Jalan Kiaracondong berupa pasar tradisional, toko-toko elektronik, minimarket, toserba, dan lain sebagainya. Kegiatan jasa berupa perbankan, perbengkelan, pemarkiran, pendidikan non-formal, dan lain sebagainya. Sedangkan industri yang terdapat adalah industri tekstil dan industri garmen.







3.3 Kondisi Eksisting Elemen-elemen Perancangan Kota di Jalan Kiaracondong
• Elemen rancang kota yang dikaji di kawasan Jalan Kiaracondong adalah:
1. Tata guna lahan
Di jalan Kiaracondong penggunaan lahannya didominasi oleh kegiatan perdagangan dan jasa
2. Tata massa bangunan
Dari tata massa bangunan di jalan Kiaracondong menunjukkan bahwa
3. Sirkulasi dan parkir
Dilihat dari sirkulasi dan parkir yang terdapat di jalan Kiaracondong berjalan kurang efektif karena kebanyakan tidak terdapat tempat parkir khusus. Hanya terdapat beberapa pertokoan yang mampu menyediakan tempat parkir khusus. Hal ini menyebabkan jalur pedestrian digunakan sebagai tempat parkir.
4. Ruang terbuka
Ruang terbuka di sekitar jalan Kiaracondong berupa pepohonan-pepohonan besar yang tumbuh sepanjang jalan (jalur hijau jalan).
5. Jalur pedestrian
Jalur pedestrian yang terdapat di Jalan Kiaracondong tidak digunakan secara efektif oleh para pejalan kaki karena jalur pedestrian digunakan untuk kegiatan perdagangan dan terkadang digunakan sebagai tempat parkir.
6. Penunjang aktivitas
Kegiatan penunjang yang terdapat di Jalan Kiaracondong berupa bangunan pertokoan, pusat jasa, Jalan layang dan terdapat juga kawasan pedagang kaki lima, kumpulan pedagang makanan kecil dan lain sebagainya.
7. Tanda-tanda
Rambu-rambu yang terdapat di sepanjang jalan Kiaracondong cukup menunjang, karena tanda-tanda digunakan sebagai penunjuk jalan dan sebagai pengatru jalannya lalulintas.
8. Preservasi dan konservasi
Preservasi merupakan usaha untuk melindungi tampa harus melakukan perubahan dari bentuk aslinya. Sedangkan konservasi merupakan usaha perlindungan tempat-tempat bersejarah yang dilakukan dengan melakukan sedikit perubahan demi perbaikan. Di jalan Kiaracondong ini tidak terdapat bangunan-bangunan yang bersifat preservasi dan konservasi.

• Unsur-unsur pembentuk citra lingkungan kota yang terdapat di Jalan Kiaracondong adalah:
1. Landmark (Tenggeran)
Landmark yang terdapat di Jalan Kiaracondong yaitu berupa jalan layang dan stasiun kereta api Kiaracondong
2. Path
Jalur pergerakan di jalan Kiaracondong berupa jalan dan pedestrian.
3. Nodes
Pusat kegiatan yang terdapat di jalan Kiaracondong yaitu pasar Kiaracondong
4. Edges
Batas-batas di jalan kiaracondong terdiri dari perempatan-perempatan.
5. District
Jalan Kiaracondong merupakan kawasan perdagangan dan jasa


BAB IV
EVALUASI ELEMEN PERANCANGAN PADA RUAS JALAN KIARACONDONG

Berdasarkan hasil pengamatan dan survey yang di lakukan di Jln. Kiaracondong dapat di katakan bahwa kawasan ini ti cukup memenuhi dasar dari elemen-elemen perancangan kota yang terdiri dari :
• Tata Masa Bangunan
Dari hasil pengamatan Jln. Kiaracondong jika di lihat pada Tata Masa Bangunan kawasan ini masuk pada wilayah industri, jasa dan perdagangan karena wilayah masuk dalam kajian CBD sehingga tata masa bangunan yang mendominasi wilayah Jln. Kiaracondong ini adalah kegiatan perdagangan dan jasa. Berikut dapat di lihat pada gambar di samping.
Dominasi bangunan terletak pada kegiatan barang dan jasa, sedangkan industri hanya terdapat dua Industri. kegiatan ini sangat berpengaruh terhadap kegiatan transportasi di wilayah sekitar Jln. Kiaracondong.



• Guna Lahan
Land use pada wilayah kajian Jln. Kiaracondong adalah perdagangan dan jasa sedangkan sektor industri terbangun hanya terdapat (2) dua buah. sehingga dominant Land use yang di gunakan yaitu sektor perdagangan dan jasa. guna lahan dominant ini mengakibatkan kemacetan pada ruas jalan sekitar Jln. Kiaracondong, Penggambaran lebih jelas dapat di lihat di samping,
maka dari itu pengkajian lebih luas perlu di lakukan guna memecahkan masalah kemacetan dengan cara pengontrolan secara rutin dan pelengkapan ketersediaan lahan parkir guna memperkecil volume kemacetan pada ruas Jln. Kiaracondong.






• Sirkulasi dan Parkir
Pembangunan lahan pada kawasan Jln. Kiaracondong baik itu pada perdagangan dan jasa kurang memperhatikan lahan parkir yang tersedia bagi pengunjung, sehingga lalulintas pada wilayah Jln. Kiaracondong menumbulkan kemacetan. Kegiatan perdagangan dan jasa yang tinggi merupakan salah satu aspek yang kurang di perhatikan sehingga menimbulkan volume kemacetan yang besar.

• Ruang Terbuka
Berdasarkan kegiatan hasil survey yang dilakukan di kawasan Jln. Kiaracondong penggunaan lahan pada Ruang Terbuka tidak ada, suasana pada kawasan Jln. Kiaracondong tinggi sedangkan perhatian pada estetika land use yang di gunakan tidak memfasilitasi Ruang Terbuka sebagai kegiatan penunjang aktifitas vital gerak manusia.
• Jalur Pedestrian
Kawasan Jln. Kiaracondong memiliki banyak kekurangan dalam penyediaan pedestrian bagi pejalan kaki. hasil survey yang kami lakukan di kawasan tersebut memperlihatkan kajian pada arah Jln. Kiaracondong menuju ke arah Jln. Soekarno Hatta arah pembangunan jalan tidak sama sekali menyediakan pedestrian bagi pejalan kaki, sedangkan arah kajian yang di lakukan pada Jln. Soekarno Hatta menuju Jln. Kiaracondong pembangunan pedestrian di fasilitasi berikut dengan penyediaan Ram pada pedestrian yang di peruntukan bagi penyandang
cacat agar lebih mudah menggunakan pedestrian. Gambar di bawah merupakan kajian Jln. Kiaracondong menuju arah Jln. Soekarno Hatta yang tidak memfasilitasi pembangunan jalan dengan pedestrian.







• Penunjang Aktifitas
Hasil survey yang kami lakukan pada wilayah Jln. Kiaracondong dalam peunjang aktifitas pembangunan tidak ada baik itu pada Ruang Terbuka maupun pada fasilitas umum lainnya. penunjang aktifitas utama seharusnya tersedia di Jln. Kiaracondong sebagai sarana penunjang bagi masyarakat umum.

• Perambuan
Berdasarkan hasil survey yang di lakukan terhadap Jln. Kiaracondong permabuan berjalan dengan dengan baik akan tetapi banyak pelanggaran lain yang di lakukan oleh pengendaraan umum maupun pribadi yang menyalahi peraturan misalnya, terdapatnya rambu dilarang parkir namun parkir dalam jalur pedestrian yang mengganggu pejalan kaki dalam melakukan aktifitasnya.
• Preserfasi dan Konserfasi
Preserfasi dan Konserfasi di lakukan oleh pihak pemerintah dan swasta dalam pemeliharaan bangunan dan jalan, khususnya jalan itu sendiri dan penyediaan pedestrian yang layak bagi masyarakat umum. Perkembangan pembangunan yang mengikuti arus perbuahan zaman barlanjut tanpa harus merubah karakteristik terhadap bangunan yang menjadi Land Mark bagi wilayah sekitar Jln. Kiaracondong.
Berdasarkan hasil pengamatan, dapat di lihat bahwa dalam elemen-elemen perancangan kota di atas di Jln. Kiaracondong sebagian besar elemen-elemen Perancangan Kota kurang di perhatikan dalam penyediaannya, dan memerlukan peninjauan dan pembangunan lebih lanjut guna meningkatkan ketersediaan elemen yang selayaknya di perlukan.
Ketersedian elemen perancangan kota ini merupakan aspek yang sangat di perluka dalam kajian fasilitas kota yang layak, maka dari itu sangat di perlukan upaya peninjauan dan pembangunan elemen yang layak bagi masyarakat umum dan kelengkapan fasilitas umum kota yang layak lainnya
Pembangunan umumnya di lakukan di Jln Kiaracondong dalam pemenuhan syarat pemenuhan perancangan kota yaitu elemen-elemen yang terkandung di dalamnya.

Senin, 27 April 2009

penggunaan SIG dalam perencanaan tata kota

Sistem Informasi Geografi (SIG)/Geographic Information System (GIS)


DEFENISI SISTEM INFORMASI
Sistem : Kumpulan dari komponen – komponen yang memiliki unsur keterkaitan dan terintegrasi antara satu dengan lainnya dan saling bekerjasama untuk mencapai tujuan.
Sistem Informasi merupakan suatu kumpulan dari komponen – komponen dalam perusahaan atau organisasi yang berhubungan dengan proses penciptaan dan pengaliran informasi.
Sistem informasi adalah sekumpulan komponen pembentuk sistem yang mempunyai keterkaitan antara satu komponen dengan komponen lainnya yang bertujuan menghasilkan suatu informasi dalam suatu bidang tertentu. Dalam sistem informasi diperlukannya klasifikasi alur informasi, hal ini disebabkan keanekaragaman kebutuhan akan suatu informasi oleh pengguna informasi. Kriteria dari sistem informasi antara lain, fleksibel, efektif dan efisien.


Sisten informasi geografi adalah suatu prosedur manual atau beberapa set berbasis komputer dari prosedur- prosedur yang di gunakan untuk mengumpulkan atau memanipulasi data geografis. SIG juga dapat dia artikan sebagai himpunan atau kumpulan yang terpadu dari hardware, software, data dan liveware ( orang- orang yang bertanggung jawab dalam merancang, mengimplementasikan dan menggunakan SIG ). SIG juga merupakan hasil perpaduan dari disiplin ilmu di dalam beberapa proses data spasial.

Jumat, 20 Maret 2009